Mangupura, baliwakenews.com
Umat Hindu di Bali, dalam melaksanakan kegiatan apapun selalu mencari hari baik. Hari baik disebut “dina hayu” atau “Dewasa”. Dina hayu atau Dewasa ini adalah merupakan pengaruh alam besar (Bhuvana agung) terhadap alam kecil (Bhuvana alit). Yang menjadikan hari atau dina ini adalah akibat proses adanya perputaran bumi mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi.
Demikian juga bintang-bintang yang beredar di alam Bhima Sakti itu. Perputaran benda-benda ruang angkasa itu, membawa pengaruh langsung terhadap kehidupan di bumi ini. Saat-saat perputaran itu akan membawa suatu “Refleksi” di bumi ini.Dari sini adanya Suatu momentum untuk apa saat-saat itu baiknya. Saat-saat yang baik inilah disebut Dewasa.
Dalam buku yang berjudul Caru, Palemaha dan Sasih yang ditulis oleh Nyoman Singgih Wikarman menjelaskan, untuk melaksanakan kegiatan ritual keagamaan umat Hindu sangat memperhatikan hari baik atau dewa itu. Dengan mendapatkan hari baik untuk melakukan kegiatan, maka akan sukseslah kegiatan itu dan berpahala yang baik nantinya.
Seperti halnya Dewasa untuk kegiatan Panca Yadnya lainnya, untuk Bhuta Yadnya atau Mecaru pun ada hari baik atau Dewasanya. Dewasa untuk melaksanakan Caru juga sama berpegangan kepada “Sasih, Tithi/Tanggal panglong, wuku dan hari” Sasih yang baik untuk melaksanakan Caru adalah sasih-sasih “Ka Nem”, “Ka Pitu”, “Ka Wolu”, dan “Ka Sanga”. Sasih ini adalah khusus untuk Caru yang bersifat rutin, kecuali Caru sasih dilaksanakan tiap bulan. Saat-saat yang baik untuk “tanggal panglong”, adalah hari “panglong” atau bulan “mati’. Dan baik sekali pada hari Tilem.
Sedangkan hari yang baik adalah ketika hari “kajeng” dan “Kaliwon” Untuk paingkelan baik adina maupun awuku diutamakan pada “Ingkel Bhuta”

Dengan demikian kalau kita akan Mecaru pertama perhatikan Sasih pada bulan itu. Apakah Sasih itu sasih Ka Nem, Ka Pitu, Ka Wolu, dan Ka Sanga. Apakah sasih itu tidak sasih “Wulan tanpa Sirah” atau “Sasih Tanpa tumpek yakni hari asasih yang lamanya 30 hari tidak ada tumpek atau Saniscara Kaliwonnya. Sasih “paruwak tawuk ” atau sasih berbadan kosong. Sasih tersebut adalah : Wariga pada Sasih Asada dan Ka Nem. Wuku Kuningan pada Sasih Ka Sa dan Ka Pitu. Wuku Krulut pada sasih Ka Ro dan Kaulu. Wuku Uye pada Ka Ro dan Ka Sanga.
Dan juga tidak terpakai adalah Sasih “Mala masa yaitu sasih yang “ditampih” atau sasih yang diduakalikan karena terjadi “pangrepetaning sasih”. Sasih yang begini terjadi pada saat nampih sasih, setiap tiga atau empat tahun sekali. Sasih yang ditampih disebut Sasih Ka Ro diduakalikan. Sasih Ka Ro yang duluan namanya “malamasa” sasih kotor, tidak boleh dipakai dewasa. Itulah sasih-sasih yang tidak terpakai. Tahun 1966, malasada.
Sedangkan hari yang terpakai adalah “hari Kajeng Kaliwon” bertempatan dengan bulan mati (uwudan). Baik sekali kalau bertepatan dengan Tilem: Juga perlu diusahakan ketika ingkel bhuta baik adina maupun awuku.
Itulah hari-hari yang dipandang baik untuk mecaru. Sedangkan untuk Caru Sasih yang dipakai adalah Hari “Kajeng Kaliwon Wudan” (Panglong). Baik sekali kalau kebetulan Tilem.
Sedangkan Caru yang menyertai Dewa Yadnya atau Pitra Yadnya, tidaklah mencari Dewasa khusus. Ia lekat dengan Dewasa yang dipergunakan untuk Yadnya induknya.
Misalnya Caru Rsigana yang menyertai Ngenteg Linggih. Caru Rsigana tidak memerlukan dewasa khusus lagi, melainkan ikut pada Dewasa Ngenteg Linggih. Demikianlah Dewa Caru atau Bhuta Yadnya yang dipakai. (Tim Baliwakenews.com)