Denpasar, baliwakenews.com
Oleh : I K. Eriadi Ariana
Pernikahan jadi satu ritual sakral yang dilalui manusia. Melalui pernikahan, dua insan diikat bukan hanya untuk saling menjaga, tetapi juga bekerja sama membangun keluarga.
Menurut tradisi Hindu, khususnya dalam teks Adiparwa, pernikahan diamanatkan untuk meneruskan keturunan. Pesan ini muncul melalui tokoh Jaratkaru, terpelajar yang awalnya memilih melakukan sukla brahmacari (tidak menikah). Namun, setelah menguasai ilmu menembus Neraka, ia mendapati leluhurnya tengah dihukum gantung di Neraka Bambu Petung. Penyebabnya lantaran garis keluarganya nyaris putus.
Melihat situasi leluhurnya, Jaratkaru memutuskan untuk menikah. Namun, ia hanya akan menikah dengan perempuan yang memiliki nama sama dengannya. Pernikahan adat Batur, dicatatkan lontar Gama Patemon Rajapurana Pura Ulun Danu Batur. Secara leksikal, gama patemon [patêmon] berarti ‘tatanan pertemuan’.
Pernikahan dalam Gama Patemon disebut masomahan. Masomahan berasal dari kata dasar somah ‘bersuami atau beristri’. Setelah mendapat imbuhan ma-an, kata somah menjadi masomahan yang berarti ‘dalam keadaan bersuami atau beristri’.
Pada Gama Patemon tertulis, ritual pernikahan dimulai dengan mempersembahkan sirih kepada para tetua desa, yakni Jro [Jero] Balirama. Persembahan sirih jadi simbol pemberitahuan kepada Jero Balirama bahwa warganya ada yang menikah.
Sirih tersebut bernama base kakojongan, yang dipersembahkan ke hadapan para tetua pada H-9 pernikahan, H-6 pernikahan, H-3 pernikahan, dan pada hari pernikahan. Menurut teks tersebuut, setiap Jero Balirama menerima dua kojong sirih.
Sirih yang dipersembahkan H-6 pernikahan disebut base mangenem dinayang; sirih yang dipersembahkan pada H-3 pernikahan disebut base mangetelunang; dan sirih yang dipersembahkan pada hari puncak pernikahan disebut base mangatusan. Melihat pola tersebut, meskipun tidak disebutkan, maka sirih yang dipersembahkan pada H-9 pernikahan kemungkinan bernama base manyiya dinayang (sirih sembilan hari).
Praktik mempersembahkan sirih dalam pernikahan adat kepada tetua adat di Batur masih berlaku sampai saat ini. Sirih tersebut oleh masyarakat umumnya dikenal sebagai base pangendek ‘sirih pemberitahuan’. Sirih berfungsi sebagai sarana pemberitahuan kepada tetua desa.
Base pangendek secara geometris berbentuk kojong (lonjong kerucut). Pada kojong yang dibuat dari daun pisang berisi bahan-bahan menginang, yakni beberapa lembar sirih, pinang, pamor (kapur nginang), gambir, dan tembakau. Pada puncak pelaksanaan pernikahan, base pangendek umumnya dipersembahkan sebelum dipersembahkan peratengan (masakan).
Base pangendek dipersembahkan kepada Jero Balirama, Jero Gede Batur Makalihan, dan Jero Petinggi (Perbekel). Kadangkala juga dipersembahkan ke hadapan Jero Penyarikan Makalihan. Namun, khusus ke hadapan Jero Gede Batur dan Jero Penyarikan, base pangendek diberikan variasi berupa gonjer dari janur. Base pangendek dipersembahkan oleh utusan dari keluarga mempelai laki-laki, yang dilakukan secara berpasangan dengan perantara bahasa Bali.
Pada puncak upacara, keluarga mempelai laki-laki wajib mempersemahkan beberapa jenis makanan. Menurut Gama Patemon, makanan tersebut antara lain berupa tuak, bumbu-bumbu, kacang goreng, satu ceeng nasi. Pada saat itu, mempelai juga menyatakan keadaan pernikahannya ke pura yang disaksikan oleh Jero Kubayan, Jero Bahu, Jero Hulu Tengah. Khusus untuk Jero Kubayan, Jero Bahu, dan Jero Hulu Tengah turut dipersembahkan nasi panjunjung dan satu cupak be karangan.
Nasi panjunjung dan be karangan inilah yang kini dikenal sebagai nasi peratengan. Bentuknya berupa satu buah nasi yang ditempatkan di atas ancak (jalinan bambu) berisi lauk-pauk seperti lawar merah dan putih, sayur urab, beberapa tusuk sate, dan tum (sejenis pepes). Adapun be karangan juga dikenal sebagai teboan, yakni bagian daging babi yang diiris lengkap dari daging, lemak, dan kulitnya.
Gama Patemon mensyaratkan seluruh pernikahan warga adat melalui proses mempersembahkan base pangendek. Piranti ini menjadi simbol pengesahan suatu pernikahan.
Peran base kakojongan sebagai pengesah pernikahan juga dipertegas melalui sapatha (kutukan) yang muncul pada teks tersebut. Apabila melanggar, warga yang bersangkutan akan disalahkan.
Kutukan juga akan diterima apabila ada orang selain Jero Balirama yang menghantarkan puja nasi papeluk. Jika ada yang berlaku demikian, pernikahannya pun tidak dianggap sah.
Pernikahan dalam Gama Patemon mengamanatkan pernikahan sebagai momentum yang bukan sekadar pertemuan sepasang pengantin, tetapi juga menjadi media apresiasi pada pengabdian tetua adat. Pernikahan juga menjadi pintu bagi seorang menapaki tanggung jawab pada fase kehidupan baru dengan pranata yang menjadikannya manusia berperadaban. Pernikahan jelas ditempatkan bukan sekadar hingar bingar pesta. BWN-03